Tradisi Julungan Gunung Lawu Karanganyar
Dalam rangka mendukung program pemerintah di bidang pelestarian budaya tradisional dan bidang kepariwisataan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Indonesia terdapat berbagai ragam jenis folklor yang dapat digali dan dikembangkan untuk meningkatkan pembangunan di bidang kepariwisataan pada umumnya dan pariwisata budaya pada khususnya.
Dalam kaitan dengan hal ini, folkor dan seluk-beluknya terutama di dalam keberadaannya sebagai aset pariwisata budaya. Bertujuan: (1) menggali atau mendokumentasikan potensi folklor daerah Lawu, (2) mengungkap fungsi folklor tersebut bagi khalayak pendukungnya, (3) menyeleksi bentuk folklor apa saja yang berpotensi untuk pengembangan pariwisata budaya daerah Lawu, (4) menemukan pola yang dapat diterapkan untuk pengembangan pariwisata budaya daerah Lawu.
Lokasi yang dijadikan objek ini adalah daerah Lawu, Kabupaten Karanganyar. Daerah ini dipilih, sebab daerah Lawu diperkirakan memiliki khazanah folklor yang sangat banyak ragamnya, yang dapat dikembangkan sebagai aset pembangunan pariwisata budaya. Data yang telah dikumpulkan akan diklasifikasi berdasarkan tipenya dan dianalisis dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan dan menganalisisnya.
Analisis ini dimaksudkan untuk mengungkapkan fungsi yang terdapat di dalam folklor bagi kahalayak pendukungnya. Hasil analisis ini dipakai sebagai acuan dalam seleksi bentuk folklor yang berpotensi sebagai aset pariwisata budaya dan penemuan pola pengembangannya didasarkan atas karakter folklor yang diseleksi (terpilih).
Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan, ternyata masih banyak potensi folklor, baik yang berbentuk lisan, sebagian lisan maupun bukan lisan yang belum terdaftar sebagai aset wisata dalam Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar. Padahal khalayak luas sudah mengenal dan mengunjunginya. Seperti bentuk-bentuk folklor lisan: cerita tentang Watugunung, cerita tentang pedanyangan yang terkait dengan upacara tradisi Julungan dan cerita tentang Gunung Lawu.
Bentuk folklor sebagian lisan adalah upacara tradisi Julungan, sementara folklor bukan lisan adalah situs punden atau pedanyangan Endang Suli, Cokro Pandono, Ngledok, Pedanyangan Tawang, Cobrongan dan Tegalrejo. Sementara fungsi folklor bagi khalayak pendukugnya adalah (a) sebagai sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device) (bahkan tidak terbatas pada anak tetapi juga orang tua, pemuda, dan masyarakat pada umumnya secara informal, dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Pada prinsipnya hampir semua folklor potensial untuk dikembangkan sebagai aset pariwisata daerah Lawu. Namun perlu ada ‘semacam citra atau image’ yang mampu mengangkat nama Lawu – Karanganyar. Kalau, Prambanan punya cerita Rara Mendut dan Pranacitra, cerita Bandung Bondowoso, atau cerita Rara Jonggrang maka Lawu juga harus bisa menciptakan image dengan cerita Watugnung-nya. Alasan pemilihan ini karena Watugnung merupakan salah satu bentuk cerita yang memiliki potensi wisata yang mampu mensinergikan antara folklor lisan, folklor sebagian lisan atau kegiatan (act), dan folklor bukan lisan atau objek (artifact).
Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan dalam upaya menggali potensi pariwisata di daerah antara lain adalah melakukan inventarisasi potensi sumber daya lokal unggulan : lokasi, potensi wisata alam, potensi wisata budaya, sumber daya manusia, dan payung hukum; pasar; kemitraan dengan berbagai instansi terkait (tourism stakeholder), seperti : pemda, pelaku bisnis pariwisata, perguruan tinggi, dan masyarakat setempat.
Dalam kaitan dengan hal ini, folkor dan seluk-beluknya terutama di dalam keberadaannya sebagai aset pariwisata budaya. Bertujuan: (1) menggali atau mendokumentasikan potensi folklor daerah Lawu, (2) mengungkap fungsi folklor tersebut bagi khalayak pendukungnya, (3) menyeleksi bentuk folklor apa saja yang berpotensi untuk pengembangan pariwisata budaya daerah Lawu, (4) menemukan pola yang dapat diterapkan untuk pengembangan pariwisata budaya daerah Lawu.
Lokasi yang dijadikan objek ini adalah daerah Lawu, Kabupaten Karanganyar. Daerah ini dipilih, sebab daerah Lawu diperkirakan memiliki khazanah folklor yang sangat banyak ragamnya, yang dapat dikembangkan sebagai aset pembangunan pariwisata budaya. Data yang telah dikumpulkan akan diklasifikasi berdasarkan tipenya dan dianalisis dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan dan menganalisisnya.
Analisis ini dimaksudkan untuk mengungkapkan fungsi yang terdapat di dalam folklor bagi kahalayak pendukungnya. Hasil analisis ini dipakai sebagai acuan dalam seleksi bentuk folklor yang berpotensi sebagai aset pariwisata budaya dan penemuan pola pengembangannya didasarkan atas karakter folklor yang diseleksi (terpilih).
Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan, ternyata masih banyak potensi folklor, baik yang berbentuk lisan, sebagian lisan maupun bukan lisan yang belum terdaftar sebagai aset wisata dalam Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar. Padahal khalayak luas sudah mengenal dan mengunjunginya. Seperti bentuk-bentuk folklor lisan: cerita tentang Watugunung, cerita tentang pedanyangan yang terkait dengan upacara tradisi Julungan dan cerita tentang Gunung Lawu.
Bentuk folklor sebagian lisan adalah upacara tradisi Julungan, sementara folklor bukan lisan adalah situs punden atau pedanyangan Endang Suli, Cokro Pandono, Ngledok, Pedanyangan Tawang, Cobrongan dan Tegalrejo. Sementara fungsi folklor bagi khalayak pendukugnya adalah (a) sebagai sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device) (bahkan tidak terbatas pada anak tetapi juga orang tua, pemuda, dan masyarakat pada umumnya secara informal, dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Pada prinsipnya hampir semua folklor potensial untuk dikembangkan sebagai aset pariwisata daerah Lawu. Namun perlu ada ‘semacam citra atau image’ yang mampu mengangkat nama Lawu – Karanganyar. Kalau, Prambanan punya cerita Rara Mendut dan Pranacitra, cerita Bandung Bondowoso, atau cerita Rara Jonggrang maka Lawu juga harus bisa menciptakan image dengan cerita Watugnung-nya. Alasan pemilihan ini karena Watugnung merupakan salah satu bentuk cerita yang memiliki potensi wisata yang mampu mensinergikan antara folklor lisan, folklor sebagian lisan atau kegiatan (act), dan folklor bukan lisan atau objek (artifact).
Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan dalam upaya menggali potensi pariwisata di daerah antara lain adalah melakukan inventarisasi potensi sumber daya lokal unggulan : lokasi, potensi wisata alam, potensi wisata budaya, sumber daya manusia, dan payung hukum; pasar; kemitraan dengan berbagai instansi terkait (tourism stakeholder), seperti : pemda, pelaku bisnis pariwisata, perguruan tinggi, dan masyarakat setempat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar